Media Coverage

Introducing LinkedIn Spotlight 2019 for Indonesia

LinkedIn has a long history of proudly celebrating its members, and to continue that tradition we have just launched the first edition of LinkedIn Spotlight. LinkedIn Spotlight aims to celebrate the most viewed and active professionals in Indonesia as well as members that share inspiring perspectives and engaging stories. 

In this edition of LinkedIn Spotlight, we’ve featured 12 professionals from the nation’s top growing sectors on LinkedIn: education, data scientists, food & beverage, hospitality, automobile, Internet and government services. Each of these members actively contribute ideas and insights that drive conversations on LinkedIn.  

Among this year’s professionals in the Spotlight, ibu Sri Mulyani Indrawati, Indonesia’s Minister of Finance and a renowned economist, actively shares her views on pressing global and local issues. In addition to Sri Mulyani, the list also includes Ahmad Agus Setiawan – Head of Gajah Mada University's Renewable Energy Laboratory, Qlue founder and CEO Rama Raditya, Kopi Kenangan CEO and co-founder Edward Tirtanata, Marriott International general manager Satish Kumar and Tokopedia senior UX researcher Ananda Nadya. Nabih Ibrahim Bawazir, an industry guru in artificial intelligence, built a great following on LinkedIn by helping others understand data. Riffa Sancati, an inspiring female executive in the tech sector, frequently shares workplace trends and observations, which strike a chord with many like-minded Indonesians. 

By celebrating their stories, we hope to inspire all Indonesian professionals to share their thoughts and ideas on LinkedIn and follow their passions. 

Speaking of sharing thoughts, what would you like to talk about on LinkedIn? Share your comments and ideas with us. #InItTogether #LinkedInSpotlight

Dr Ahmad Agus Setiawan received the Professional Achievement Award - Science and Engineering at the 2018 Curtin Alumni Achievement Awards

KOMPAS Rabu 11 September 2019, Halaman 12 http://ugm.id/AASKOMPAS

Lewat Energi Terbarukan, Ahmad Agus Menerangi Indonesia: https://kompas.id

detail artikel: https://rumahpengetahuan.web.id/lewat-energi-terbarukan-ahmad-agus-menerangi-indonesia/ 

Sri Mulyani among Indonesia's most inspiring people, according to LinkedIn

ttps://www.thejakartapost.com

News Desk (The Jakarta Post) Jakarta   ●   Fri, November 1, 2019

This article was published in thejakartapost.com with the title "Sri Mulyani among Indonesia's most inspiring people, according to LinkedIn ". Click to read: https://www.thejakartapost.com/life/2019/11/01/sri-mulyani-among-indonesias-most-inspiring-people-according-to-linkedin.html.

Business and employment-oriented social networking platform LinkedIn released the first edition of LinkedIn Spotlight on Thursday.

According to a statement received by The Jakarta Post, the biannual list aimed to celebrate the most viewed and active professionals in Indonesia who frequently shared interesting content on the platform.

For the 2019 LinkedIn Spotlight, the platform checked the members’ profile views, frequency of visits and contributions on LinkedIn between January and June this year.

This time, the list features 12 professionals, including Finance Minister Sri Mulyani Indrawati.

The company said in a statement that the minister frequently shared her activities and thoughts on the platform, discussing topics to strengthen Indonesia’s fiscal policy and national budget.

In addition to Sri Mulyani, the list also includes Ahmad Agus Setiawan – Head of Gajah Mada University's Renewable Energy Laboratory, Qlue founder and CEO Rama Raditya, Kopi Kenangan CEO and co-founder Edward Tirtanata, Marriott International general manager Satish Kumar and Tokopedia senior UX researcher Ananda Nadya.  

With 14 million users in Indonesia, the platform mentioned data science, government, the environment, food and beverages and digital as among the fastest growing industries in the country. 

Below is the complete list of Linkedin Spotlight in Indonesia:

Ahmad Agus Setiawan: ‘Milenial Lebih Cepat Beradaptasi pada Sisi-sisi Tertentu, Terutama Digital’

Wean Guspa Senin, 18 Februari 2019 16:33 WIB Debat Pilpres 2019

https://akurat.co/iptek

AKURAT.CO Ahmad Agus Setiawan melempar senyum ramah kala berjalan di lobby Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika (DTNTF) Universitas Gajah Mada (UGM), Rabu (13/2) pagi. Langkahnya tenang. Di sekelilingnya ada kerumunan mahasiswa yang tengah menjalani Ospek dan mengerjakan tugas dari kakak tingkatnya. Di antara mahasiswa baru itu, ada pula yang tengah bertukar data diri.

Pagi itu, ia datang tepat waktu. Hanya berselang 15 menit setelah AKURAT.CO tiba di DTNTF. Rumah Agus tak jauh dari UGM. Hanya sekitar empat kilometer ke arah timur. Tepatnya, di dekat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Meski belum pernah bertemu, tak sulit baginya mengenali kami. Sekali kontak mata, ia langsung menyalami kami. Seraya berjalan ke tempat absensi dosen dan staff departemen, percakapan pun dimulai 

“Mas wartawan ya? Mau dimana Mas wawancaranya? Sebentar ya, Mas, absen dulu ?” tanyanya ramah.

Suasana makin ramai. Matahari pun sudah tinggi. Muncul serombongan mahasiswa laki-laki yang potongan rambutnya sama. Bisa ditebak, rombongan itu adalah mahasiswa baru. Sebab, rambutnya plontos alias botak satu centimeter.

Tak hanya laki-laki, ada pula rombongan mahasiswa perempuan. Mereka memakai name tag, bertulis nama dan asal fakultasnya. Juga ada logo UGM dan logo panitia Ospek di pojok kiri atas.

Mahasiswi yang mengenakan baju putih bergaris kecil dengan jilbab dan rok coklat itu menuruni dari tangga. Ia memakai kacamata. Di tangannya, ada buku bersampul biru. Kurang jelas bertulis apa buku tersebut. Yang jelas, di sampul buku itu, ada foto dirinya.

Mahasiswi itu lantas menyodorkan buku yang ia bawa pada mahasiswa yang sedang berdiri di depan tangga. Dari sekian banyak mahasiswa di situ, ia hanya memilih satu orang untuk diajak bicara. 

Setelah saling tukar tanda tangan, ia mengajak swafoto rekan yang baru ditemuinya itu.

“Makasih ya, nanti fotonya aku kirim WA,” tutupnya seraya berlalu.

Banyak Diperbincangkan

Selesai absen, Agus mengajak masuk ke dalam ruangan Common Room, sebuah ruangan berkumpul dosen yang di departemen tersebut. Ruangan itu juga biasa digunakan untuk rapat dosen. Kebetulan, hari itu Agus ada rapat. Untungnya, rapat baru dimulai beberapa jam kemudian.  

Monggo Mas, di sini saja nggih,” ajaknya untuk duduk berhadapan di sebuah sofa panjang.

Belakangan, namanya diperbincangkan banyak orang. Bukan tanpa sebab, ia masuk dalam daftar Panelis Debat Calon Presiden 2019 putaran kedua. Ia ditunjuk berkat kepiawaiannya, yaitu faqih dalam bidang Reneweble Energy System and Planing.

Ya, isu itu memang sedang ramai diperbincangkan. Publik juga menunggu ketegasan calon presiden terkait energi terbarukan yang kian lama kian kritis ketersediannya.

Kebetulan, mulai tahun ini Agus mendapatkan amanah baru dari UGM. Ia ditugaskan sebagai kepala laboratorium energi terbarukan UGM. Menurutnya, peran itu adalah kesempatannya untuk kembali ke khittoh-nya sebagai akademisi di bidang sains dan teknologi.

Dunia itu memang telah digelutinya sejak duduk di bangku kuliah. Dulu, ia pernah bekerja sebagai partimer di Fakultas Kehutanan sebagai asisten riset. Kala itu, ia aktif pada beberapa penelitian bersama dosennya dan melakukan banyak kegiatan laboratorium. Itu semua ia lakukan agar lebih fokus pada dunia sains.

Hingga kini, Agus masih konsisten di bidang sains dan teknologi. Berkat konsistensinya dalam bidang tersebut, Agus mendapat kepercayaan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ya, ia didaulat sebagai salah satu panelis dalam acara Debat Calon Presiden 2019 Kedua yang baru saja berlangsung.

Agus kaget ketika pertama kali dihubungi KPU via email. Kebetulan kala itu ia sedang berada di Lombok, mendampingi penerjunan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa UGM. Dalam email tersebut, Agus diminta menjadi salah satu panelis dalam Debat Calon Presiden 2019 putaran kedua.

Mak jegagik lah ya! Wah, ada apa ini? Tapi semangat, Bismilah. Saya siap. Gitulah kira-kira,” ungkap Agus. 

Surat resmi soal ketersediaan menjadi panelis menyusul. Agus menerima permintaan KPU secara resmi pada minggu pertama bulan Februari.

“Pada awal Februari itu saya mulai ketemu dengan wartawan di Jakarta. Kemudian saya diberikan surat resminya. Kalau surat kertas kan agak terlambat sampai ke sininya,” kata Agus.

Agus terpilih menjadi panelis tak sendiri. Ia ditemani sejumlah akademis dan aktivis lingkungan lainnya sesuai bidang keahlian masing-masing. Mereka antara lain; Rektor ITS Profesor Joni Hermana, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati, Rektor IPB Arif Satria, juga ahli pertambangan ITB Profesor Irwandy Arif.

Selain itu, ada pakar lingkungan hidup Undip, Sudharto P. Hadi, dan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pengembangan Agraria Dewi Kartika juga terlibat sebagai panelis.

Generasi Milenial adalah Generasi Digital 

Debat calon presiden putaran pertama banyak menuai cibiran. Banyak yang menilai debat tersebut kurang greget. Bahkan ada yang menyebut seperti cerdas cermat. Hal itu tak pelak membuat KPU kali ini menggunakan haknya dalam memilih panelis tanpa persetujuan kedua belah pihak.

Selama hampir 50 menit Agus bicara bagaimana tim panelis mempersiapkan debat putaran kedua. Debat tersebut, salah satu fokusnya, membahas energi terbarukan dan suara milenial. Dan memang, itu adalah keahliannya. Nah, berikut tanya jawab dengan Agus seputar Debat Calon Presiden 2019.

Treatment untuk moderator seperti apa?

Kalau dari panelis lebih kepada isi kontennya. Kalau soal moderator, KPU yang punya kapasitas itu. Tapi kita punya kapasitas untuk nanti bertemu dengan moderator, kemungkinan nanti di situlah kita akan diskusi lebih jauh.

Kemarin kita sudah beberapa kali ketemu dengan mereka. Meskipun singkat-singkat saja, besok kita akan masuk ke finalisasi. Tentunya kita harus meng-eksposure para moderator dan kita berharap nanti pesan-pesan seperti ini bisa jadi action selanjutnya.

Bagaimana Anda melihat para milenials yang mengikuti debat?

Peran milenials yang sadar akan politik menjadi penting. Sebab, pada tahun 2045 kelak yang hidup memegang kekuasaan itu kan milenials ini. Jadi, you ketika memilih ini pada dasarnya untuk kamu (kaum milenials). Sisi energinya, lingkungannya, SDA, pangan, dan energinya.

Semuanya harus ngeh. Pada isu-isu strategis, pangan juga besar isunya. Energi juga sama. Kita punya tantangan satu Indonesia, bukan hanya Jawa dan sumatera. Tapi ribuan kepulauan yang kita punya.

Bagaimana Anda melihat energi terbarukan di negeri ini?

Ada dua kepentingan yang menarik di sini. Dari segi bisnis dan juga dari segi proteksi. Ketika kita berbicara energi terbarukan semangat yang ingin disampaikan juga bukan semangat pasar saja. 

Harapannya, pada debat ini tumbuh kapasitas, kemampuan, dan teknis maupun produksi dari sektor lokal. Dari Indonesia sendiri. Jangan sampai kalau semuanya sudah open kita dikeroyok juga. Gak ada bedannya nanti dengan minyak, misalnya.

Kita seringkali melihat peta Indonesia banyak banget bendera dari luar negeri. Semuanya serba asing. Kita mengkritisi itu. Jika nantinya kemungkinan energi terbarukan masuk. Jangan sampai kita hanya menjadi pasar. Bagaimana kesiapan kita. Itu yang kita munculkan.

Semua itu kuncinya kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang punya sains dan tekonologi. Nah ini yang harapan kita kedepan.

Bagaimana soal kebijakan import di Indonesia, di bidang otomotif misalnya?

Tantangannya memang sama dengan mobil atau produk yang lain, dimana semuanya serba impor. Lalu, bagaimana menghidupkan kemampuan internal kita? Kemauan produksi lokal juga harus ditingkatkan.

Proteksi pasti ada, yang jelas saat ini sejak hybrid milik Toyota atau Tesla yang kekinian banget. Sebenarnya di Indonesia juga sudah mulai muncul. Salah satunya lewat produk-produk perguruan tinggi yang bekerja sama dengan industri. Pernah ada yang dibuat dan dikembangkan namun akhirnya bermasalah juga.

Mobil listrik, mobil hemat energi, dan drone yang jadi isu Pilpres 2014 itu semuanya kita punya.

Lalu, menurut Anda, bagaimana kapasitas SDM di negeri kita?

Jika kita melihat negara maju, misalnya Singapura, mereka sudah mempunyai kapasitas ini. Singapura punya lembaga-lembaga untuk mangangkat hal-hal seperti ini. Memfasilitasi dan seterusnya. Lainnya, United State (US), misalnya, saya masih bermimpi dengan konsep pembangunan mereka. Barusan saya browsing, contohnya National Reneweble Energy Laboratory.

Semuanya punya kapasitas di kampusnya masing-masing. Kemudian ditarik ke level nasionalnya dan governance. Amerika juga punya revolusi sains dan teknologi. Sekitar pada tahun 1940. Pada saat itu keputusannya adalah mengenai big science bukan lagi small science pada waktu itu soal kebijakan pemerintahannya.

Jadi, harus ada seorang teknokrat dan ada orang-orang yang bekerja di level nyekrup dan sebagainya. Gampangannya begitu. Tapi teknokrat ini harus tahu, jangan dilepas pada orang yang tidak punya visi seperti itu.

Bagaiamana idealnya kebijakan pemerintah untuk energi terbarukan?

Jadi, kalau negara lain mereka sudah mengalami evolusi dan revolusi. Termasuk pada era saat Habibie ‘bergaya’ masuk ke teknologi. Saat itu ada konsep, jika hanya mengikuti negara lain, kita akan selamanya tertinggal. Sebab, kita hanya akan fokus mengejar sementara mereka sudah lompat ke mana-mana.

Ada namanya leapfrogging. Energi terbarukan tidak berbeda dengan itu. Itulah mengapa sekarang kita melalui ini masuk pada Debat Calon Presiden 2019.

Apakah kedua kubu sudah mengahadirkan pendidikan politik yang baik?

Tepatnya, belum sampai pada level ide, ini yang ramai di medsos. Gampangnya ‘bom-boman’. Ini lebih pada sosial politik. Case yang ingin kita lihat adalah, bagaimana wacana yang keluar dalam Debat Calon Presiden 2019 ini bisa dibungkus dalam metodologi yang oke.

Sudahkah pendidikan politik itu sampai ke generasi milenial? 

Ini yang menarik, milenials bukan punya kecenderungan diam, tutup mata dan telinga. Mereka punya kapasitas untuk belajar cepat. Seolah tidak peduli tetapi sebenarnya mereka ikuti. Hati-hati dengan itu.

Kami dosen-dosen juga masih bertanya-tanya sebenarnya milenial ini benda apa. Milenial lebih cepat beradaptasi pada sisi-sisi tertentu, terutama digital. Mereka adalah digital native, yang lahir dengan gawai ditangan mereka. Mereka sangat personal sekali dengan informasi.

Informasi itu kemudian yang bisa memengaruhi pemikiran, hingga bisa memutuskan dengan cara mereka sendiri. Bukan cara orang tua. Ini agak sedikit berbeda. Perubahan pilihan untuk mengakses informasi juga harus diikuti ketika kita akan mendekati milenial. Nah, inilah yang harus menjadi perhatian.

Panelis Debat Capres: Jangan Cuma Berbasis Wangsit sehingga Eksekusinya Jadi Meleset karena Keputusan-keputusan Non Sains

Wean Guspa Rabu, 13 Februari 2019, 20:42 WIB

https://akurat.co/news

AKURAT.CO Tema energi terbarukan menjadi salah satu tema debat calon presiden putaran kedua yang akan diselenggarakan di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu 17 Februari 2019.

Panelis debat, Ahmad Agus Setiawan, mengatakan masyarakat mengharapkan kepastian dan kebernasan ide sekaligus cara mengeksekusi yang metodologis. Itu sebabnya, Indonesia membutuhkan sosok progesif, yang kemudian dibackup oleh sains dan teknologi yang tinggi.

“Pascareformasi, apakah kita pernah merasa punya panglima teknokrat? Sepertinya kita tidak pernah merasakan,” kata dosen Fakultas Nuklir dan Fisika Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hari ini.

Menurut Ahmad Agus Setiawan belum ada role model seperti B. J. Habibie. Habibie dinilai punya konsep company. namun ketika dimasukkan ke dalam pembangunan negara hal itu bisa menjadi beda.

“Indonesia butuh sains dan teknologi untuk masuk ke dalam keputusan-keputusan penting. Tanpa sains dan teknologi nanti ya kira-kira seperti yang sering kita diskusikan sekarang ini. Baik itu desain maupun eksekusi hal itu harus dikawal dengan sains dan teknologi tentunya,” kata dia.

Menurut dia negara maju sekarang sedang mengalami deg-degan dengan science, technology, engineering, and mathematic karena tanpa itu perkembangan bangsa menjadi rawan, apalagi Indonesia.

Itu sebabnya, kata dia, Indonesia membutuhkan sosok yang bisa mengarahkan sekaligus mengawal eksekusi secara metodologis yang berbasis sains dan teknologi. Visi-misi harus jelas.

“Jangan cuma berbasis wangsit. Sehingga eksekusinya menjadi meleset karena keputusan-keputusan non sains."

Tema debat kandidat kedua diharapkan memunculkan awareness terhadap apa yang menjadi keresahan bersama terhadap sektor energi.

Mengenal Lebih Dekat Panelis Debat Capres Ahmad Agus Setiawan, Menjadi Pakar Energi Terbarukan untuk Mewujudkan Cita-cita Saat SD

SOSOK Jumat, 8 Februari 2019 | 09:58 WIB

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Seorang guru SD pernah mengatakan bahwa semua wilayah di Indonesia akan dialiri listrik. Bahkan, Gunung Merapi pun akan terang-benderang dengan lampu-lampu.

Mendengar penjelasan tersebut, seorang murid yang sedari tadi menyimak serius menjadi terheran-heran. Anak tersebut langsung melihat ke arah Gunung Merapi, dan tidak percaya bahwa gunung tersebut dapat dialiri listrik.

Anak tersebut adalah Ahmad Agus Setiawan, yang saat ini menjadi Pakar Sistem dan Perencanaan Energi Terbarukan UGM. Pada Minggu (17/02/2019), berkat kepakarannya, Agus didapuk menjadi panelis Debat Capres Kedua yang mengusung tema energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.

“Ungkapan guru saya selalu terpatri dalam ingatan dan menjadi pertanyaan penelitian untuk menempuh jenjang doktoral,” kenang Agus kepada kagama.co, belum lama ini.

Butuh perjalanan panjang dan berbagai tantangan yang harus Agus tempuh untuk mencapai jenjang doktoral. Dosen peraih Habibie Award 2014 in Engineering from The Habibie Center ini mengaku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Dengan kondisi keuangannya yang minim, Agus harus mencari beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya.

Ketika masih duduk di bangku SMA, banyak guru-guru yang mengarahkannya untuk melanjutkan pendidikan di STAN, IPDN, dan sekolah kedinasan lainnya. Akan tetapi, ia tetap berpegang teguh pada cita-cita masa kecilnya untuk menjadi insinyur, dan berkecimpung dalam sains-teknologi seperti B.J. Habibie. Untuk mewujudkan cita-citanya, Agus mulai mendaftar program beasiswa Science and Technology for Industrial Development (STAID) dari B.J. Habibie untuk kuliah ke Jerman.

Agus pun mengikuti serangkaian seleksi program beasiswa tersebut di Surabaya. “Nenek saya yang tidak berpendidikan tinggi justru berpesan agar kuliah di UGM saja. Beliau juga memberi tahu bahwa saya akan tetap ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya,” ungkap pria asal Yogyakarta ini.

Agus pun kebingungan karena telah mengikuti serangkaian seleksi STAID, tetapi ia juga telah menyelesaikan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dengan pilihan Teknik Elektro, UGM.

“Ketika menunggu rangkaian seleksi STAID di Nganjuk, saya dapat surat diterima kuliah di UGM,” terangnya.

Akhirnya, Agus memilih untuk kembali ke Jogja dan kuliah di UGM. Namun, ia tetap merasa galau karena belum mendapatkan beasiswa untuk kuliah di UGM, dan kebingunan cara membayar uang kuliah.

Padahal, saat itu uang kuliah di UGM terbilang cukup murah, yaitu kisaran Rp.180 ribu per semester. Masalah tersebut akhirnya dapat diatasi. Agus melakukan pendekatan kepada Dekan hingga Wakil Rektor untuk mendapatkan beasiswa, bahkan ia dibebaskan dari SPP dan dicarikan pekerjaan untuk entri data di Fakultas Kehutanan.

“Ketika bekerja di Fakultas Kehutanan, saya banyak berteman dan terinspirasi dengan dosen yang tengah meniti karier disana,” ungkap Agus.

Selama kuliah, Agus tidak hanya terfokus pada urusan akademiknya saja. Ia bekerja di perusahaan elektrik untuk memenuhi biaya KKN dan menjadi asisten laboratorium, agar dapat lebih memahami ilmu yang didapatnya.

“Saya pikir setelah KKN dan teori kuliah selesai, maka bisa langsung mengerjakan skripsi dan mengambil data di laboratorium. Tapi ternyata tidak demikian, krisis 1998 mendorong mahasiswa untuk melakukan demo, termasuk saya,” kenang Agus.

Pengerjaan skripsi menjadi tertunda dan Agus lagi-lagi harus mencari biaya untuk kebutuhan skripsinya. Kemudian, ia berkesempatan menjadi tenaga pendamping yang diterjunkan di Gunung Kidul.

Akhirnya, Agus dapat lulus sebagai sarjana dari Teknik Elektro pada 1999. Kemudian ia diterima sebagai dosen di Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika dan ditugaskan ke Swedia untuk mendalami energi terbarukan.

“Saya yang tinggal lama di Yogyakarta jarang sekali bepergian, paling jauh hanya ke Madura untuk survei lapangan. Tiba-tiba saja langsung pergi jauh ke Swedia yang istilahnya negeri antah-berantah,” ungkap Agus yang kini menjabat sebagai Kepala Laboratorium Energi Terbarukan di Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika.

Ketika berada di sana, Agus merasa tertantang dan optimis untuk dapat mengembangkan sains-teknologi di Indonesia seperti yang ada di Swedia. Menurutnya, tantangan terbesar ketika menempuh studi di Swedia bukanlah aktifitas perkuliahan, alam, maupun budayanya.

Tetapi ia harus berpisah dari keluarganya di Yogyakarta. Pada kepergian Agus ke Swedia pada 2000, anak pertamanya lahir, sehingga ia harus membagi sebagian uang beasiswanya untuk keluarga di rumah.

Setelah lulus dari masa studi di Swedia, Agus kembali ke Teknik Nuklir dan di luar dugaannya, ia kembali disekolahkan hingga jenjang doktoral. Penggemar berat B.J. Habibie ini pun mendapatkan beasiswa untuk studi dan tinggal bersama keluarga di Australia.

Awalnya ia sempat belajar di University of New South Wales, kemudian pindah ke Curtin University agar lebih fokus pada sistem energi terbarukan.

“Ketika S3, pertanyaan untuk disertasi saya terinspirasi oleh cita-cita saat SD untuk mengaliri listrik ke seluruh wilayah di Indonesia,” pungkasnya.(Tita)

Ahmad Agus Setiawan: Pembangunan Harus Mulai Memperhatikan Energi Terbarukan

ULASAN PAKAR  Sabtu, 9 Februari 2019 | 08:25 WIB

http://kagama.co/ahmad agus setiawan

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Pertumbuhan energi di Indonesia yang dilihat melalui jangkauan listrik secara nasional tampak sudah sangat menjanjikan. Dalam catatan terakhir, listrik telah menjangkau 98 persen wilayah, meskipun ada beberapa tempat yang masih terbatas pada penggunaan beberapa lampu atau durasi pemakaian listriknya.

Hal ini disampaikan oleh pakar energi terbarukan, Ahmad Agus Setiawan, ST., M.Sc., Ph.D. saat ditemui Kagama di Departemen Teknik Nuklir dan Fisika, UGM, belum lama ini.

Melihat tren dunia internasional seperti Tiongkok dan India yang fokus pada energi terbarukan, kata Agus, Indonesia juga harus mulai bergerak ke sana. Untuk mengembangkan energi terbarukan, Indonesia perlu membuka semua opsi yang ada.

Agus pun memberikan contoh dengan pemanfaatan tenaga nuklir. Apabila opsi ini dipilih, maka harus memperhatikan daerah yang secara kebumian letaknya paling stabil.

“Kami pernah survei ke Bangka Belitung yang secara kebumian letaknya paling stabil. Namun, apakah lokasi tersebut dapat mentransfer energi ke wilayah pusat beban yang berada di Jawa, Bali, dan Madura? Ini perlu dipikirkan kembali,” paparnya.

Pria penggemar B.J. Habibie ini mengungkapkan bahwa situasi energi di Indonesia pada tahun 2019 memasuki waktu yang paling krusial. Alasannya adalah produksi energi di Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun, sedangkan kebutuhannya semakin meningkat. Pada tahun ini, kata Agus, terjadi persimpangan antara penurunan produksi dan peningkatan kebutuhan energi.

“Pada tahun 2019 ini sumber daya alam (SDA) untuk kebutuhan energi mulai habis, padahal generasi penerus bangsa masih membutuhkan kehidupan yang lebih panjang,” ungkap Agus.

Agus memberikan keyakinan untuk mengatasi masalah energi ini dengan contoh kasus di Jepang dan Korea. “Jepang harus menggunakan nuklir sebagai energi karena sudah kepepet dan tidak memiliki pilihan SDA lainnya,” ujarnya.

Berbeda dari Jepang, Korea menjadi contoh kasus yang paling relevan bagi Indonesia. Mereka pernah dijajah Jepang dan mengalami kondisi negara yang susah. Akan tetapi, mereka memulai sebagai industrial giant ketika memasuki era 80-an.

Selain memiliki keinginan untuk menjadi industrial giant, kemajuan Korea yang saat itu masih terbagi menjadi Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) juga dipicu oleh adanya momentum. Apabila Korut mengembangkan sesuatu, maka Korsel pun tak mau kalah dan ikut mengembangkan sektor serupa.

Meskipun memiliki tujuan pengembangan sains dan teknologi (saintek) yang berbeda, persaingan di antara keduanya telah memicu kemajuan yang sangat pesat. Hal serupa pun terjadi pada India dan Pakistan, mereka juga saling bersaing dalam aspek pengembangan Saintek.

“Indonesia rupanya terlalu aman untuk saling bersaing dalam aspek Saintek. Namun, kita harus sadar bahwa negara ini telah berada dalam kondisi yang krisis energi,” terang Agus.

Kesadaran tersebut harus didukung dengan arah pembangunan negara yang menjadikan Saintek sebagai “panglima”, serta memperhatikan isu global. Oleh karena itu, pemimpin harus berani mengambil keputusan dan memperhatikan apakah pembangunan negara dapat dilakukan manakala kebutuhan energi tidak dapat tercukupi.

Menurut Agus, pembangunan harus mulai memperhatikan energi terbarukan yang sifatnya disruptif terhadap energi konvensional seperti batu bara dan minyak bumi. Bahkan, Australia yang tidak potensial untuk ramah lingkungan—karena sebagian besar SDA-nya berasal dari pertambangan—pun mampu melampaui target 20 persen energi terbarukan.

Sekelas perusahaan minyak seperti Chevron dan Shell juga mulai memperhatikan energi terbarukan. Demikian pula dengan perusahaan Facebook dan Google yang menginvestasikan kantor pusatnya dengan energi terbarukan agar ramah lingkungan.

Meskipun mulai banyak diperhatikan di dunia internasional, energi terbarukan masih memiliki banyak tantangan. Energi ini masih dianggap belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan. Namun, hal ini pun sebenarnya hampir sama dengan energi konvensional yang mengalami evolusi panjang, agar dengan sepenuhnya diterima dan digunakan dalam masyarakat luas.

Energi terbarukan ini masih baru dan belum mendapatkan banyak perhatian di Indonesia, sedangkan energi konvensional telah banyak diterima dan diberi subsidi dari pemerintah.

“Kalau di luar sana telah mulai menggunakan energi terbarukan, maka kita harus mengikutinya dan memperjuangkannya pada kebijakan pemerintah,” pungkas Agus.(Tita)

http://berita.suaramerdeka.com  

From Humble Origin ~ Live Story

Gagal Dapat Beasiswa, Terima Habibie Award

Ahmad Agus Setiawan, Peneliti Energi Terbarukan

18 November 2014  4:39 WIB 

Category: Berita Utama, SmCetak A+ / A- SM/Sony Wibisono

Mengidolakan sosok BJ Habibie, membuat Ahmad Agus Setiawan STMSc PhD ketika remaja harus menelan pil pahit. Upayanya mencari beasiswa kuliah luar negeri dari Habibie gagal karena dilarang ibu dan nenek. Larangan itu disadarinya sebagai doa. Tanpa putus asa, dia terus berupaya dan kini meraih Habibie Award di bidang ilmu rekayasa.

AGUS tidak pernah membayangkan masuk bangku kuliah. Selepas SMP, semula dia mendaftar ke STM. Dia berpikir, selepas STM bisa langsung bekerja.

Namun rupanya sang paman, Musthofa yang juga dosen Fakultas Kedokteran UGM, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan ke SMA. ”Sekolah SMAwae, mengko mlebu UGM. Begitu paman saya bilang,” tuturnya saat ditemui di Gedung Pusat UGM.

Pilihan pria kelahiran Yogyakarta, 16 Agustus 1975 ini bukan tanpa alasan. Biaya menjadi hal yang selalu hampir menjegal langkahnya. Anak tunggal pasangan Affandi dan Tuginah ini harus hidup prihatin.

Penghasilan ayahnya yang montir bengkel sepeda motor tidak begitu besar, sementara ibu hanya mengurus rumah tangga. Praktis, kehidupan keluarganya pas-pasan. Nasib Agus semakin nelangsa ketika berusia 10 tahun. Orang tuanya berpisah dan dia hanya dibesarkan oleh ibu.

”Ya istilahnya kalau untuk sekolah digolek-golekke, terutama paman yang membantu saya,” tutur suami Sofia Mubarokah Hidayat itu.

Dalam kondisi yang kekurangan, rupanya Tuhan memberinya ketekunan dan kecerdasan di atas rata-rata teman sekolah. Prestasinya dilihat para guru yang selalu mengusahakan beasiswa untuknya.

”Mungkin mereka kasihan. Iki kok ana bocah mesakke banget,” tutur Agus menceritakan masa kecilnya. Bapak empat anak ini mengakui, beasiswa yang didapat sangat membantu.

Bahkan, selepas SMA pada 1993, dia mengikuti seleksi beasiswa Habibie. Beasiswa ini untuk pelajar Indonesia melanjutkan kuliah ke luar negeri. Dia pun sudah menjalani tes hingga Surabaya.

”Namun ibu dan nenek melarang. Mereka masih anggap saya kecil, sehingga tidak tega kalau harus kuliah di luar negeri.

Ya kecewa, tapi saya tetap nurut. Akhirnya, saya kuliah di Teknik Elektro UGM,” ujar Kepala Subdirektorat Hubungan Alumni pada Direktorat Kemitraan, Alumni dan Urusan Internasional UGM ini.

Tentu saja, kuliah dia jalani dengan sokongan beasiswa. Sebagai tambahan uang saku, Agus bekerja di seputar lingkungan UGM.

”Mulanya ya entry data di Fakultas Kehutanan dan bantu macam-macam. Makanya, kuliah saya baru lulus tahun 1999,” jelasnya.

Setelah menjadi dosen di Jurusan Teknik Fisika, Agus melanjutkan S-2 ke The Royal Institute of Technology – KTH Swedia.

Dia juga melanjutkan kuliah S-3 di Curtin University Australia. Dia merasa Tuhan memberi jalan hingga bisa mencapai sukses saat ini.

”Larangan orang tua itu mungkin doa bagi saya. Nyatanya saya masih diberi jalan lain oleh Tuhan dan tetap mengabdi untuk Indonesia,” tandasnya.

Bekerja di Indonesia bagi Agus adalah suatu nilai lebih. Ini sesuai bayangannya terhadap sang idola, Habibie. Kekaguman itu berawal dari cerita guru SDnya yang mengatakan, Indonesia punya Habibie.

Anak bangsa lulusan Jerman itu bisa membuat pesawat. Seperti diketahui, Habibie akhirnya pulang ke Indonesia.

Satu lagi, seorang pakar listrik yang juga menuntut ilmu di Jerman. Cerita itulah yang menginspirasinya menjadi teknokrat.

”Dulu guru saya menceritakan, kalau pulang ke Indonesia, jalanan akan terang. Bahkan dia menunjuk puncak Merapi juga akan terang benderang. Saya tidak tahu apakah teknokrat ini pulang ke Indonesia atau tidak,” kenang masa kecilnya di SD Terban Taman II .

Habibie Award yang didapat baru-baru ini, membuatnya terkejut. Baginya, penghargaan ini merupakan kehormatan sekaligus kejutan indah kepada dirinya dan keluarga.

Ketika datang ke Jakarta untuk menerima penghargaan, dia menyiapkan teks pidato ”Mendorong Penggunaan Teknologi Energi Terbarukan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.”

Namun dia memutuskan tidak membacakan naskah itu keseluruhan. ”Saya lebih ingin tampil live. Ini kesempatan presentasi sambil berkomunikasi langsung dengan Pak Habibie,” tuturnya tentang presentasi di depan tokoh idolanya itu.

Sesuai dengan bidang ilmunya, Agus berbicara dengan topik energi terbarukan. Ini sesuai bidang keilmuannya di S-2 dan S-3. Ilmu rekayasa pada energi terbarukan yang ditekuni Agus terutama terkait tenaga angin, surya, dan mikro hidro.

Penilaian panitia Habibie Award, menurut Agus, tidak semata-mata atas kasus penelitian tertentu. Penghargaan itu atas rekam jejaknya terkait tri darma perguruan tinggi.

Bangun Pembangkit Listrik

Agus mempraktikkan penelitiannya dengan aktif terlibat dalam Program Desa Mandiri Energi dan Pembangunan Daerah Tertinggal untuk Indonesia di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UGM.

Dia juga merencanakan dan membangun pembangkit listrik tenaga hibrida untuk Marampit, pulau terluar yang berbatasan dengan Filipina. Proyek ini kerja sama Kementerian Riset dan Teknologi dengan Fakultas Teknik UGM.

Penghargaan yang diperoleh, di antaranya Mondialogo Engineering Award 2007 oleh UNESCO dan Daimler.

Agus dan mahasiswanya berhasil menerapkan solar water pumping system dalam KKN UGM. Teknologi itu untuk desa yang kekeringan di daerah karst.

Karya ini juga meraih penghargaan lain, seperti Adhicipta Pratama- PII Engineering Award 2010 dari Persatuan Insinyur Indonesia.

Kemudian Australian Alumni Award 2011 for Sustainable Economic and Social Development dari Kedutaan Besar Australia di Indonesia dan Energy Globe Award 2012 sekaligus Energy Globe Ambassador 2013.

Ketika ditanya hadiah tunai dari Habibie Award, Agus mengungkapkan, 25.000 dolar AS. Namun hadiah itu belum dia terima, baru sertifikat dan trofi yang diberikan. Jika nanti uang itu diberikan, dia ingin menggunakannya untuk mempelajari renewable energy.

”Ada beberapa pusat riset yang ingin saya kunjungi di Amerika. Intinya untuk mengembangkan penelitian energi terbarukan,” tandasnya.

Dia mengakui, penerapan penelitian, terutama bidang energi terbarukan tidak hanya menjadi tugas teknokrat. Pemerintah sangat berperan besar untuk menentukan arah kebijakan energi ke depan. (Sony Wibisono – 61)

Finalist World Award - Category Water

Submitted by: Department of Engineering Physics, Gadjah Mada University

Country: Indonesia

https://www.energyglobe.info

 Many rural Indonesian families have no access to clean water. Especially the dry season causes problems as far as   drinking water is concerned. Families have to spend money on expensive water, which often takes up a third of their monthly budget. Two student groups from the Australian Curtin University of Technology and the Indonesian Gadjah Mada University developed a concept that will help reduce poverty in Indonesia and support sustainable development. For their efforts they received the Mondialogo Engineering Award, an award created by Daimler and UNESCO in 2007.As part of the project, students went and established access to water in rural villages. For many students this meant confronting themselves with the poverty of their poor fellow countrymen who live with very little infrastructure. The students spent two months in the country and involved themselves in development and construction projects, for example in the Indonesian village of Banyumeneng, where 153 people now have access to clean water. A system was installed by the students that collects rain water during the rainy season and stores the water for use during the three months of dry season. Now, people are independent of water suppliers. This strengthens their independence, improves their health, and supports them in their self-reliance and dignity. The solar- powered system installed by the students causes no emissions because it uses no fossil fuels. Installation of the solar-powered water-pumping systems is accompanied by several programs: System maintenance, social integration, and sustainability.Ahmad Agus Setiawan, who has written a doctoral dissertation on renewable energy systems, is married with four children. He considers it his most important job to teach his students that there are still many villages in their home country without access to water, and that something can be done about that.

“Bring life and benefits to others, especially to those who are considered not as lucky as we are; bring science and technology for sustainable development to my home country.” Ahmad Agus Setiawan, National Energy Globe Winner Indonesia

PII Award 2010 : Laju De-Industrialisasi Harus Dibendung

KRT, 23 Desember 2010 

http://lipi.go.id/berita

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) kembali menganugerahkan PII Award kepada beberapa individu dan Institusi. Tahun ini PII Award dianugerahkan kepada 7 Institusi dan 13 perorangan yang dinilai berprestasi di bidang teknologi dan kerekayasaan di Indonesia. Hal ini merupakan penghargaan tertinggi dari Persatuan Insinyur Indonesia yang diberikan sejak tahun 1990 kepada putra-putri bangsa yng berprestasi.

Acara penganugerahan yang dihadiri para insan pegiat ilmu mewakili seluruh nusantara, di gelar di Auditorium Gedung BPPT, Jakarta, Rabu 22 Desember 2010 dengan puncak acara yang ditengarai dengan Pidato PII bertajuk Membangun Kembali kemampuan Engineering Naional oleh Mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

Saat memberikan pidatonya, BJ Habibie mengatakan, hampir semua pusat perbelanjaan di Indonesia dipenuhi barang-barang luar negeri. Hal itu berarti rakyat Indonesia harus membayar ongkos pekerja luar negeri untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari ,katanya.

Tersisihnya produk dalam negeri menciptakan defisit jam kerja antara pekerja di Tanah Air dan di luar negeri. Ironisnya, kondisi itu terjadi saat banyak masyarakat Indonesia mengeluhkan kecilnya lapangan kerja dan naiknya pengangguran.

Membeli produk buatan dalam negeri itu sama dengan mengamankan lapangan kerja serta menjamin pemerataan dan kesejahteraan bangsa, ujarnya.

Defisit jam kerja itu dapat diatasi dengan meningkatkan daya saing industri manufaktur melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan teknologi. Langkah ini membutuhkan perencanaan jangka panjang yang konsisten serta produk hukum yang melindungi industri dan mengamankan pasar dalam negeri.

Ini bukan proteksionisme, tetapi untuk menciptakan lapangan kerja. Negara-negara lain juga melakukannya, tuturnya.(Kompas,23/12)

Dalam kesempatan sambutannya, Menteri Koordinator Perekonomian M Hatta Rajasa mengatakan, bidang rekayasa (engineering) Indonesia mengalami perkembangan pesat pada era 1980-an. Kini, potensi perekayasa Indonesia harus dibangkitkan kembali agar bisa memberi nilai tambah hingga mampu bersaing secara global. Peningkatan daya saing industri manufaktur harus ditopang oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai. Namun, hal ini masih sulit karena hanya ada 16.435 insinyur per Mei 2010 dari 237 juta rakyat Indonesia atau 0,006 persen ujarnya.

Penghargaan PII Award 2010 diberikan kepada individu dan industri berprestasi dalam bidang teknologi dan rekayasa. Penghargaan diberikan dalam lima kategori (Life Time Achievement, Engineering, Sustainable Engineering, Coorporate Technology Achievement dan Adhiwarta Rekayasa). Untuk kategori Lifetime achievement diberikan kepada Wiratman Wangsadinata dan GM Tampubolon.

Untuk kategori Engineering (Adhidharma Profesi) diraih oleh Sriani Sujiprihati, Bambang Wydiyatmoko, L.T.Handoko, kemudian untuk kategori Engineering (Adhicipta Rekayasa Individu) diberikan pada Ratno Nuryadi, Dasep Ahmadi, Andreas W Yunardi, Johanes Adi P, Samudra Prasetio; selanjutnya kategori Engineering (Adhicipta Rekayasa Perusahaan) kepada Pusat Teknologi Industri Proses BPPT, PT.Krakatau Steel, PT.Industri Kereta Api; kategori Engineering Adhikara Rekayasa Individu, diberikan kepada Wiratman Wangsadinata, Terip Karo Karo; untuk kategori Engineering Adhikara Rekayasa Perusahaan diraih oleh PT.Wijaya Karya dan kategori Engineering Adhicipta Pratama oleh Ahmad Agus Setiawan, Johnny Setiawan.

Sedangkan kategori Sustainable Engineering Individu diberikan Nuryanto dan kategori Sustainable Engineering Perusahaan diberikan kepada PT Pembangunan Perumahan, PT.Pasadena Engineering Indonesia.

Sementara itu, kategori Coorporate Technology Achievement di raih oleh PT.Industri Kereta Api dan terakhir, kategori Adhiwarta Rekayasa diberikan kepada Redaktur Senior Kompas Ninok Leksono. (PII/ck/humasristek)

UGM Lecturer Receives 2010 PII Award

Submitted by marwati on Tue, 03/01/2011 - 07:43 in Achievement : http://www.ugm.ac.id/en 

Another prideful achievement has been made by a member of UGM academic community, Dr. Ahmad Agus Setiawan, S.T., M.Sc., Secretary of Physics Engineering, Faculty of Engineering, was selected as one of reciepients of awards from Associaton of Indonesian Engineers (PII) together with other 19 recipients. He earned the Adhicipta Pratama Emas in the selection of outstanding people and institutions in technology and engineering.  

The award was presented on 22 December 2010 in Jakarta. PII Award is the highest award in technology and engineering from PII to several individuals and institutions that are seen as outstanding in technology and engineering in Indonesia. This started in 1990. This year  PII Award is presented to  13 individuals and 7 institutions in four categories, namely Life Time Achievement, Engineering, Sustainable Engineering, and Coorporate Technology Achievement.

Ahmad Agus earned the Adhicipta Pratama Emas, an award in Engineering category, which is given to individuals aged below 35 for their achievement in technology that is useful for the development of the nation and state. He succeeded in developing water elevation system using solar energy or is populary called as solar watering pumping system. “PII saw that the technology innovation in solar watering pumping system proved to be benefit the people,” he explained recently.

The water pumping system has been enjoyed by the people of Banyumeneng I hamlet, Giriharjo village, Panggang sub-district, Gunung Kidul regency, since 2009. The Banyumeneng I is one of areas in the regency lacking of water. There is only one water resource for the people, which is in Kaligede, located in in cave's cavity. It is far from the residential areas.

To fetch water from Kaligede, people have to walk on unasphalted road as long as 4 km. “Due to the water pumping system, difficulties to get water are no longer there,” said the man born in Yogyakarta, 16 Augusts 1975.

The system developed by the graduate from Curtain University involved community service students (KKN) UGM as well as the people of Banyumeneng I. Ahmad Agus said that the idea emerged in 2006, as part of his thesis. This concept has won an international competition in Mondialogo Engineering Award (MEA) 2007 in India.  With a capital of 250 in fund which was the prize in  MEA 2007,his students and the people built the installation. “The water pumping system is able to supply 7,800 liter pf water per day and meets the need of 118 families,” said Ahmad Agus.

When reminded about the award, Ahmad Agus gave his reply. “Alhamdulillah, I've been trusted to receive the PII Award. For me, this is not my personal achievement only, but for students, departm,ent and faculty. Without their help, I'm nothing,” he said humbly.


Staf Pengajar UGM Raih PII Award 2010

sumber: https://www.ugm.ac.id/id/berita/3084-staf-pengajar-ugm-raih-pii-award-2010

28 Februari 2011, 12:07 WIB Oleh: Ika

Prestasi membanggakan kembali diraih oleh civitas akademika UGM. Dr. Ahmad Agus Setiawan, S.T., M.Sc., Sekretaris Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik (FT) UGM, terpilih menjadi salah satu penerima penghargaan dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII) bersama dengan 19 orang penerima penghargaan lainnya. Ia meraih penghargaan Adhicipta Pratama Emas dalam ajang pemilihan insan dan institusi berprestasi di bidang teknologi dan kerekayasaan. Penghargaan diberikan pada 22 Desember 2010 di Jakarta.

PII Award merupakan penghargaan tertinggi dari PII yang diberikan kepada beberapa individu dan institusi yang dinilai berprestasi di bidang teknologi dan kerekayasaan di Indonesia. Pemberian penghargaan telah dimulai sejak tahun 1990. Pada tahun ini, PII Award dianugerahkan kepada 13 individu dan 7 institusi. Penghargaan diberikan dalam empat kategori, yakni Life Time Achievement, Engineering, Sustainable Engineering, dan Coorporate Technology Achievement.

Ahmad Agus meraih penghargaan Adhicipta Pratama Emas, penghargaan kategori Engineering. Penghargaan ini diberikan pada individu berusia kurang dari 35 tahun karena dinilai berhasil dalam mengembangkan karya teknologi yang terbukti bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan negara. Ia berhasil mengembangkan sistem pengangkatan air dengan menggunakan tenaga matahari atau yang dikenal dengan solar watering pumping system. “PII menilai inovasi teknologi solar watering pumping system ini benar-benar terbukti memberikan manfaat bagi masyarakat,” jelasnya baru-baru ini.

Teknologi sistem pengangkatan air dengan menggunakan tenaga surya ini memang telah dirasakan manfaatnya oleh warga Dusun Banyumeneng I, Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, sejak 2009 silam. Dusun Banyumeneng I merupakan satu dari sekian daerah di kabupaten ini yang mengalami kesulitan air. Hanya ada satu sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan warga setempat, yaitu Kaligede. Mata air tersebut berada di daerah cekungan di dalam gua. Lokasinya pun jauh dari permukiman warga.

Untuk mendapatkan air di mata air Kaligede, warga harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang tidak beraspal sekitar empat kilometer. “Dengan adanya sistem pengangkatan air bertenaga surya ini, kesulitan air yang dirasakan oleh warga Dusun Banyumeneng I akhirnya bisa teratasi” kata pria kelahiran Yogyakarta, 16 Agustus 1975 ini.

Sistem pengangkatan air bertenaga surya yang dikembangkan lulusan Curtain University ini melibatkan mahasiswa peserta kuliah kerja nyata (KKN) UGM bersama dengan masyarakat Dusun Banyumeneng I. Dikatakan Ahmad Agus, ide pembuatan sistem ini muncul pada 2006, sebagai bagian dari tesis yang disusunnya waktu itu. Konsep ini telah memenangi lomba bertaraf internasional dalam Mondialogo Engineering Award (MEA) 2007 di India. Dengan bermodal dana 250 juta rupiah, hasil kemenangan dalam ajang MEA 2007, mahasiswanya dan masyarakat setempat melakukan pembangunan fisik dan instalasi. “Sistem pengangkatan air ini mampu menyuplai sekitar 7.800 liter air per hari. Jumlah tersebut mampu memenuhi kebutuhan 118 kepala keluarga yang belum terdistribusi air,” kata Ahmad Agus.

Saat disinggung tentang penghargaan yang telah diperolehnya, Ahmad Agus menuturkan jawabannya. “Alhamdulillah, bisa dipercaya menerima PII Award ini. Bagi saya, penghargaan ini bukan hanya kemenangan pribadi saya. Namun, juga kemenangan bagi mahasiswa, jurusan, serta fakultas. Tanpa dukungan mereka, saya bukanlah apa-apa,” ucapnya merendah. (Humas UGM/Ika)

Kedaulatan Rakyat, 13 Maret 2011

Suara Merdeka, 4 Maret 2011

Seminar Bulanan di Pusat Studi Pedesaan & Kawasan UGM

            “Di era modern sekarang ini listrik padam satu jam merupakan hal yang wajar, namun bila padam sampai satu hari itu namanya kurang ajar. Demikianlah gerutu seorang teman mahasiswa yang dilontarkan sebagai ungkapan kekesalan mensikapi sering terjadinya pemadaman listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang berlangsung dalam tempo yang relatif lama” ungkap penyaji membuka seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) pada hari Kamis, tanggal 10 Maret 2011. Seminar yang diselenggarakan pada sore hari, bertempat di ruang sidang kantor PSPK UGM,  dan dihadiri oleh peserta dari kalangan akademisi, aktivis LSM dan masyarakat umum itu, pada kesempatan tersebut menghadirkan seorang pakar energy, Ahmad Agus Setiawan, S.ST, M.Eng, PH.D, dosen jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Topik yang dibahas pada seminar tersebut adalah “Energi Pedesaan : Akan Dibawa Kemana ?”

Keluhan terhadap masalah pasokan listrik yang tidak stabil/ sering terjadi pemadaman bukan hanya berasal dari satu kalangan masyarakat saja tetapi berasal dari berbagai kalangan. Bukan hanya berasal dari mahasiswa atau akademisi yang memiliki sikap kritis dan merasa terganggu kegiatan belajar mereka akibat terjadinya pemadaman listrik, tetapi juga dari kalangan warga masyarakat biasa yang merasa terganggu aktivitas perekonomian mereka akibat kondisi tersebut. Bukan hanya berasal dari rumah tangga yang mengkonsumsi listrik untuk memenuhi kebutuhan domestic tetapi juga kalangan pengusaha yang mengkonsumsi listrik untuk melaksanakan kegiatan produktif. Bukan hanya dari kalangan masyarakat pedesaan dan kawasan terpencil yang jauh dari pusat pemerintahan, tetapi juga dari kalangan masyarakat perkotaan yang dekat dengan pusat pemerintahan republic ini. Singkat kata, semua pihak merasa dirugikan dengan kondisi tersebut” lanjut penyaji.

“Selain masalah energy listrik, akhir-akhir ini kita juga disuguhi dengan pemberitaan di berbagai media massa tentang kelangkaan BBM yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, serta kebingungan dari pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut” lontar mas Agus, alumni program doctoral dari Australia yang selain mengajar di almamaternya, juga sering menjadi konsultan berbagai program terkait dengan masalah energy yang di laksanakan oleh beberapa pihak, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. “Melihat kenyataan ini mungkin timbul pertanyaan, mengapa bangsa Indonesia yang terkenal memiliki sumber daya alam yang berlimpah bisa mengalami krisis energy ?” lanjut penyaji.

Menurut penyaji beberapa factor yang dapat dipandang sebagai penyebab terjadinya krisis energy yang sering melanda negeri ini. Pertama,pertumbuhan tingkat kebutuhan energy di Indonesia yang tidak sebanding dengan kemampauan untuk menyediakannya. Peningkatan itu terjadi karena adanya pertambahan jumlah penduduk yang berlangsung terus menerus dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin mengandalkan sector industri. Pertumbuhan penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah konsumen energy, dan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sector industry membutuhkan pasokan energy listrik yang lebih banyak yang mengakibatkan terjadinya lonjakan kebutuhan energy di negeri ini. Kedua,pengelolaan sumber daya energy oleh negara yang belum optimal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diserahi tugas untuk mengelola sumber daya energy, misalnya PLN dan Pertamina, belum dapat melaksanakan tugas yang diembannya  dengan sebaik-baiknya. Ketiga, kebijakan negara-negara kapitalis yang memanfaatkan sumber daya energy dunia secara tidak adil, Mereka sering berlaku curang, mendorong negara lain untuk mengeksploitasi sumber energy yang dimiliki, namun menyembunyikan sumber daya energy yang dimiliki untuk cadangan di masa depan.

            Kesulitan yang dialami oleh pemerintah untuk menyediakan energy yang dibutuhkan oleh rakyat akan terus berlanjut apabila pemerintah tidak melakukan kebijakan yang tepat, yang dapat segera menghilangkan sumber permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya krisis energy. Apabila permasalahan krisis energy dinilai terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara jumlah pasokan energy dengan kebutuhan energy dalam negeri maka pemerintah harus berusaha keras untuk meningkatkan produksi energy. Apabila krisis energy dinilai terjadi karena pengelolaan sumber daya energy yang belum optimal oleh lembaga yang diserahi tugas melakukan pengelolaan sumber daya energy maka pemerintah harus menata ulang lembaga pengelola sumber daya energy tersebut, dan apabila krisis energy dinilai terjadi karena adanya ketimpangan dalam system pengelolaan sumber daya energy dunia maka pemerintah harus berani menentang system tersebut.

Sumber Energi Terbarui

Khusus terkait dengan krisis energy yang disebabkan oleh adanya ketimpangan antara jumlah pasokan energy dengan tingkat kebutuhan energy dalam negeri, maka pemerintah dapat menempuh kebijakan diversifikasi sumber energy dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada di negeri ini. Semua orang tahu bahwa negeri ini memiliki aneka macam sumber daya energy yang belum dikelola dengan baik.. Sebagai contoh, negeri ini memiliki sumber daya  angin, panas bumi, air mikro dan matahari yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energy listrik. Negeri ini juga memiliki beraneka macam tanaman yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sumber energy biofuel/biodiesel yang dapat menjadi pengganti bahan bakar minyak yang semakin berkurang. Pemerintah harus mampu memanfaatkan semua potensi tersebut.

  Bila dibandingkan dengan kalangan internasional, perhatian pemerintah Indonesia dalam upaya pemanfaatan sumber energy terbarukan masih relative kurang. Di banyak negara telah dilaksanakan berbagai upaya, baik dalam tataran kebijakan maupun teknis, yang dapat mendukung upaya pemanfaatan sumber energy terbaru. Sementara di negeri ini, perhatian pemerintah masih terfokus pada upaya pengendalian harga BBM semata. “Pada tahun lalu pemerintah telah mencanangkan program desa mandiri energy di sebuah desa di Purwodadi, Jawa Tengah dengan melakukan penanaman tanaman jarak sebagai sumber bahan bakar alternatif, namun program tersebut tidak ada kelanjutannya sehingga malah menimbulkan kekecewaan warga masyarakat” terang penyaji. Belum adanya perhatian pemerintah dalam upaya pengembangan sumber energy terbarukan juga dirasakan oleh kalangan akademi. Mereka telah berupaya untuk mengembangkan teknologi yang dapat dipergunakan untuk memanfaatkan sumber energy terbarukan yang ada di negeri ini, misalnya teknologi pembangkit listrik tenaga angin, panas bumi, mikro hidro, biogas, matahari dan juga teknologi pengolahan tumbuhan (jarak, nyamplung, dll) yang dapat menghasilkan biofuel, namun ketika ditawarkan kepada pemerintah, tidak ada perhatian, dengan alasan tidak ada investor yang tertarik.

Faktor lain yang juga menjadi penyebab lambanya upaya pemanfaatan sumber energy terbarukan di Indonesia adalah rendahnya partisipasi masyarakat. Banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperkenalkan teknologi pemanfaatan sumber energy terbarui, namun tidak dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan. Selama LSM masih mendampingi masyarakat dalam pelaksanaan program pemanfaatan sumber energy terbaruhi, kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik, namun ketika LSM mengakhiri pendampingan, program tersebut berhenti. Masyarakat tidak mau melanjutkan program tersebut dengan berbagai alasan, misalnya keterbatasan biaya untuk melanjutkan program tersebut.

“Salah satu syarat agar program pemanfaatan sumber energy terbarukan dapat berjalan dengan baik adalah adanya perhatian serius dari pemerintah. Perhatian tersebut bukan hanya diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan berbagai kebijakan yang dapat mendukung upaya pemanfaatan sumber energy terbarukan, misalnya dengan penyediaan anggaran yang memadai untuk pembangunan sarana dan prasarana pendukung program, tetapi juga peningkatan kesadaran warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam program, khususnya dalam menjaga keberlanjutan program” kata penyaji sebelum seminar ditutup.*(dc)  

Publication in TV Media, some are available through: https://sites.google.com/site/aasetiawansite/research-project---videos

You Tube Link:

Part 1: http://www.youtube.com/watch?v=FR_e3XtfELE

Part 2: http://www.youtube.com/watch?v=AEoMBRfwg9A

Part 3: http://www.youtube.com/watch?v=2hpofCg8-Ew

Video Coverage: “Mondialogo Engineering Award Winner 2007”, UNESCO and Daimler, Desember 2007

You Tube link for Mondialogo TV: http://www.youtube.com/watch?v=qO0Yiem3GJs

    Project Implementation: July-August 2009

You Tube Link:

Part 1: http://www.youtube.com/watch?v=bHbOUDaDWm8

Part 2: http://www.youtube.com/watch?v=qwhVSYKLwo8

Part 3: http://www.youtube.com/watch?v=asbkHakxiOw

Solar power ends village’s drought woes

Slamet Susanto, The Jakarta Post, Yogyakarta | Archipelago | Wed, April 07 2010, 10:06 AM

The Jakarta Post - Archipelago: http://www.thejakartapost.com

Residents of Gunungkidul have been liberated from chronic clean-water shortages due to droughts thanks to a new solar-powered water pump developed and installed by students. The technology was developed by students from Yogyakarta’s Gadjah Mada University’s (UGM) School of Physics grouped in the Energy Center Students Community, in cooperation with Curtin University of Australia.

The new clean-energy system pumps water from the Tuk Kaligede River located more than 2 kilometers away at the foot of  a hill. The students installed a submersible pump into a spring near the village that is fed by the river and powered it with 12 solar panels. Together, the solar panels produce 1,200 watts of electricity, which powers the pump to deliver 1,800 liters of water per day to a reservoir located 88 meters up the hill and 1,600 meters away from the river. The water is then distributed to six smaller reservoirs, each with a capacity of 5,000 liters, built in the middle of the village. To meet their needs, 52 families in Banyumeneng hamlet, Giriharjo village, Panggang district, can

now fetch clean water from the reservoirs. They no longer have to buy water during droughts or spend hours traveling to buy water.

“We live in a hilly limestone area. We depend on rain water, which we retain. If it doesn’t rain for a month, we have to buy water to survive,” said villager Suryanto, who is also the leader of the Kaligede Water Management Organization, formed by the  residents. He said the Tuk Kaligede never dried up but was located far from the village. “It takes at least one-and-a-half hours to fetch two containers of water due to the rough terrain,” he said.

“Solar cell technology has been around for a long time already, but its application, which is really beneficial to people, must be developed further,” said UGM’s Engineering School lecturer and initiator of the clean water facility, Ahmad Agus Setiawan. According to Agus, the disadvantage of the system was that it did not incorporate a reserve energy system meaning the pump would stop working in the absence of sunlight. “Installing the equipment was actually very easy and quick, but the willingness to manage water independently is more important and that requires a long time to develop,” Agus said.

The equipment cost or Rp 250 million (US$25,000), part of which was provided by the Curtin University as a prize for the student group’s victory at the Mondialogo Engineering Award in 2007. The new system is fully managed by Kaligede’s Water Management Organization. Each month residents pay a Rp 15,000 maintenance fee to the organization. That is less than the Rp 35,000 per family per month fee charged by the state-run tap water company, Suryanto said.

Mengangkat Air ke Permukaan

Sumber

Kategori

:

:

Media Indonesia 6 April 2010 hal. 7 http://www.ampl.or.id 

Air Minum POKJA AMPL (Air Minum & Penyehatan Lingkungan): http://digilib-ampl.net

Mengangkat Air ke Permukaan Media Indonesia - 06 April 2010

Komunitas Mahasiswa Sentra Energi (Kamase) Jurusan Teknik Fisika UGM Yogyakarta, memecahkan permasalahan air bagi warga Gunungkidul, DIY, melalui solar water pumping system. Warga Dusun Banyumeneng I, Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sudah lama mengalami kesulitan air. Ada satu mata air untuk memenuhi kebutuhan warga setempat sejak mereka menghuni kawasan itu, yaitu Kaligede. Mata air itu hanya menggenang dan tidak bisa mengalir karena kondisi geografi snya yang tidak mendukung. Air berada di daerah cekungan di dalam gua. Lokasinya pun jauh dari pemukiman warga. Bila harus berjalan kaki, jarak yang harus ditempuh sekitar empat kilometer atau setengah jam perjalanan. Sebagian besar masyarakat memilih membeli air bersih seharga Rp1.000 per jeriken isi 35 liter, atau Rp120 ribu per tangki isi 5.000 liter. Akan tetapi, permasalahan air warga dusun ini akhirnya dapat dipecahkan Komunitas Mahasiswa Sentra Energi (Kamase) Jurusan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Mereka pemilik ide sistem pengangkatan air menggunakan energi matahari yang muncul pada 2007. Konsep tersebut telah memenangi lomba bertaraf internasional dalam Mondialogo Engineering Award (MEA) 2007, di India. Kemenangan lomba itu atas kerja sama UGM Yogyakarta dengan Curtin University, Australia.

Pada Juli-Agustus 2009, tim Kamase membangun sistem pengangkatan air menggunakan tenaga matahari atau bernama solar water pumping system. Pakar energi terbarukan UGM Yogyakarta, Ahmad Agus menjelaskan, Desa Giriharjo memiliki potensi matahari yang sangat baik. Lulusan Curtin University of Technology Australia, itu yang juga terlibat dalam pembuatan program pengangkatan air menggunakan energi matahari. Ia mengutarakan untuk mendapatkan sinar matahari maksimal, panel surya ditempatkan di Bukit Kaligede. "Setelah itu dilakukan pemetaan jalur pipa utama dan penentuan titik tandon utama. Pemetaan jalur pipa sendiri memakan waktu cukup lama, untuk memetakan daerah yang akan dipasang pipa dan perhitungan kemampuan mengangkat air melalui pipa (head loss)". Dengan demikian diketahui pompa yang dipakai dan kapasitas panel surya yang digunakan. Tahap selanjutnya, dibuatkan design engineering detail (DED) awal untuk mencari spesifikasi dari beberapa komponen yang sesuai untuk diinstal ke dalam sistem. Pembuatan DED meliputi beberapa komponen antara lain pemipaan, pompa, reservoir (tandon), dan daya panel surya. Kemudian dilakukan sosialisasi sistem pengangkatan air menggunakan energi matahari kepada masyarakat setempat. Hal itu dimaksudkan untuk mendapat dukungan penuh dari warga, baik bantuan tenaga maupun keikhlasan tanahnya dilewati pipa air menuju tandon.

Tahap selanjutnya mem banguninstalasi sistem dan pembentukan Organisasi Pengelola Air Kaligede (OPAKg). Organisasi ini bertanggung jawab penuh atas permasalahan apa saja yang muncul agar kebutuhan air bersih jangan sampai terhambat. Perhitungan sistem dimulai dari kebutuhan masyarakat akan air. Diperkirakan, setiap kepala keluarga (KK) membutuhkan sekitar 150 liter per hari. Karena itu ditaksir kebutuhan air di wilayah itu mencapai 7.800 liter per hari. ‘’Dari data tersebut dihitung total head loss untuk mencari spesifikasi pompa yang memenuhi head total dan kebutuhan warga,” jelas Ahmad. Ia mengutarakan berdasarkan perhitungan untuk mengangkat air dari sumber Kaligede dibutuhkan pipa se panjang 118 meter dengan meng gunakan pipa HDPE (hight density popyethylene). ‘’Untuk pompanya menggunakan Lorentz HR (Helical Rotor)-07 PS 1200, dengan debit yang dihasilkan 0,3 per detik, dan tinggi angkatan pompanya 120 meter.” Ia mengutarakan pihaknya menggunakan 12 modul cell surya. Satu modul cell surya memiliki kemampuan menghasilkan 100 WP (wattpeak). “Jadi total seluruh panelnya menghasilkan 1200 WP,” kata Ahmad.

Secara sederhana, mekanisme dari kinerja alat tersebut adalah dari sinar matahari diterima modul cell surya, kemudian energi yang dihasilkan untuk menghidupkan pompa air. Pompa air itu akan mengangkat air menuju tandon utama dengan ketinggian sekitar 1.600 meter. Air dari tandon utama kemudian disalurkan ke tandon lain yang ditaruh di lokasi strategis di kawasan Dusun Banyumeneng yang menjadi sasaran. Warga pun tidak harus berjalan kaki hingga empat kilometer lagi untuk mendapatkan air bersih. Mereka cukup datang ke bak tandong yang ada di dekat rumahnya. Sulistiono

Berikut ini liputan dari berbagai Media Elektronik Nasional berkaitan dengan kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat Jurusan Teknik Fisika FT UGM:

1. The Jakarta Post, tanggal 7 April 2010,

link: http://www.thejakartapost.com/news/2010/04/07/solar-power-ends-village%E2%80%99s-drought-woes.html

2. KOMPAS, 6 April 2010,

link: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/06/03535839/Surya.Sirami.Banyumeneng

3. Harian JOGLOSEMAR, 27 April 2010,

link: http://harianjoglosemar.com/berita/mahasiswa-ugm-bangun-sistem-pengangkatan-air-tenaga-surya-12157.html

4. Koran Sore WAWASAN, 26 Maret 2010,

http://www.wawasandigital.com/index.phpoption=com_content&task=view&id=38670&Itemid=47

5. Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, 26 Maret 2010,

link: http://www.gunungkidulkab.go.id/home.php?mode=content&submode=detail&id=1834

6. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 26 Maret 2010,

link: http://www.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=4488:berkah-lain-teknologi-sel-surya&catid=43:berita&Itemid=73&lang=en

7. Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 26 Maret 2010,

link: http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1209:mahasiswa-ugm-bangun-sistem-pengangkatan-air-lewat-tenaga-matahari&catid=69:berita-terkait&Itemid=196

8. Kedaulatan Rakyat, 25 Maret 2010,

http://www.krjogja.com/news/detail/25778/UGM.Bangun.Teknologi.Angkat.Air.Tenaga.Surya.html

9. OKEZONE News, 25 Maret 2010,

http://news.okezone.com/read/2010/03/25/65/316200/mahasiswa-ugm-bangun-sistem-pengangkatan-air-lewat-tenaga-matahari

10. ANTARA News, 25 Maret 2010,

link: http://www.antaranews.com/berita/1269513911/ugm-bangun-sistem-suplai-air-tenaga-matahari

11. DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA, 11 Agustus 2009,

link: http://www.pendidikan-diy.go.id/tampil_berita.php?id_sub=313

12. KOMPAS, 10 Agustus 2009,

http://www1.kompas.com/read/xml/2009/08/10/1943508/KKN.UGM.Bantu.Angkat.Air.Lewat.PLTS